Bidadari(a), aku lebih
suka menyebutnya seperti itu. Sekumpulan gadis ceria yang telanjang. Menari saat
pagi juga hampir petang pada aliran air sungai yang mungkin mereka anggap
sebagai taman surga. Bidadari(a) dari segala usia yang mempesona ikan-ikan juga
kekunang disekitarnya. Namun tidak untuk para pria (menurut pengamatanku
begitu).
Fajar mulai
menyingsing, embun mengering, dan kicau burung mulai sering. Langkah kaki bergantian
menuruni bebatuan besar, tumit yang mulus terbungkus jejak mimpi semalam. Gelak
tawa riang bersahutan menceritakan kisah yang telah lama disimpan. Mereka berkumpul,
setelah bergumul dengan waktu di bawah pohon tepian sungai, taman surga(nya). Pembalut
tubuh yang ditanggalkan, dada-dada diperlihatkan, juga lekukan kemolekan yang
tak malu dipertontonkan pada alam. Gerai rambut yang sering disibakkan, juga
beberapa butiran peluh di kening saat mencuci ialah kebisaan yang tak bisa
ditinggalkan. Merupakan tradisi, atau apalah, jelasnya mereka sudah terbiasa
bercumbu dengan aliran sungai bening itu.
Bidadari(a) yang pengasih
(mungkin seperti itu), ia sering menyusui sungai dengan kedua buah dadanya. Tak
enggan ia memeluk punggung-punggung batu, menyisir aliran air, kemudian menggelinjang
di dasar sungai. Matahari mereka gunakan sebagai handuk, mengeringkan setiap
lekukan tubuh dari air yang bersimpuh. Saat semua sudah kering, dadanya kembali
ia balut, kaki menapak rerumputan yang tak henti mengagumi, bidadari(a).
Saat mentari meninggi,
tegak di atas kepala. Terkadang hanya ada beberapa bidadari(a) yang menyapa
riuhnya sungai dan pengisinya. Sekedar menyegarkan pikiran dari penat yang
menyeruak, juga peluh yang ingin segera dibasuh. Tepian sungai yang tenang,
tempat segala resah dibuang dengan segala hal yang dapat dikenang diputar
berulang. Itulah bidadari(a) periang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar