Selasa, 30 April 2013

BIDADARI(A)



Bidadari(a), aku lebih suka menyebutnya seperti itu. Sekumpulan gadis ceria yang telanjang. Menari saat pagi juga hampir petang pada aliran air sungai yang mungkin mereka anggap sebagai taman surga. Bidadari(a) dari segala usia yang mempesona ikan-ikan juga kekunang disekitarnya. Namun tidak untuk para pria (menurut pengamatanku begitu).

Fajar mulai menyingsing, embun mengering, dan kicau burung mulai sering. Langkah kaki bergantian menuruni bebatuan besar, tumit yang mulus terbungkus jejak mimpi semalam. Gelak tawa riang bersahutan menceritakan kisah yang telah lama disimpan. Mereka berkumpul, setelah bergumul dengan waktu di bawah pohon tepian sungai, taman surga(nya). Pembalut tubuh yang ditanggalkan, dada-dada diperlihatkan, juga lekukan kemolekan yang tak malu dipertontonkan pada alam. Gerai rambut yang sering disibakkan, juga beberapa butiran peluh di kening saat mencuci ialah kebisaan yang tak bisa ditinggalkan. Merupakan tradisi, atau apalah, jelasnya mereka sudah terbiasa bercumbu dengan aliran sungai bening itu.

Bidadari(a) yang pengasih (mungkin seperti itu), ia sering menyusui sungai dengan kedua buah dadanya. Tak enggan ia memeluk punggung-punggung batu, menyisir aliran air, kemudian menggelinjang di dasar sungai. Matahari mereka gunakan sebagai handuk, mengeringkan setiap lekukan tubuh dari air yang bersimpuh. Saat semua sudah kering, dadanya kembali ia balut, kaki menapak rerumputan yang tak henti mengagumi, bidadari(a).

Saat mentari meninggi, tegak di atas kepala. Terkadang hanya ada beberapa bidadari(a) yang menyapa riuhnya sungai dan pengisinya. Sekedar menyegarkan pikiran dari penat yang menyeruak, juga peluh yang ingin segera dibasuh. Tepian sungai yang tenang, tempat segala resah dibuang dengan segala hal yang dapat dikenang diputar berulang. Itulah bidadari(a) periang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar