Selasa, 30 April 2013

TUAN PEMUNGUT BIBIR



Di suatu siang aku berkenalan dengan seorang tuan di taman rakyat. Kami duduk berdua di kursi reyot di bawah pohon rindang. Dibukanya tas lusuh dari punggungnya, dan aku terheran. 

“mengapa hanya ada bibir ?” tanyaku pada tuan itu.

“karena aku sering memungut bibir-bibir di tepi jalan yang sudah tidak dipakai. Bibir ini bekas dari mulut yang biasanya dibeli orang-orang kaya.” Jawab tuan itu dengan jujur.

“lalu mau kau apakan bibir-bibir tersebut,Tuan?” tanyaku lagi.

“dari bibir ini aku menjadi pintar, banyak hal yang aku dapatkan dari cerita mereka.” Jawabnya penuh semangat.

Aku pun diperkenalkan dengan mereka. Bibir perokok, peminum, pencandu, pembunuh, wanita penghibur, orang baik, juga anak-anak. Aku mencoba mendengarkan kepingan cerita dari mereka. Terkadang air liur menetes dari sudut bibir, menandakan bahwa mereka tersiksa, terluka, kecewa dengan apa yang telah dialami hingga mereka menjadi sebuah bibir usang yang dibuang.

Tuan itu kemudian menceritakan  suasana malam bersama mereka. Saat bibir pecandu dan perokok mengerat rerantingan pun daun kering. Saat bibir peminum berlarian ke tepi comberan. Saat bibir pembunuh menyesapi batang pisang. Saat bibir wanita penghibur mengulum jeruji dan mencumbu duri-duri. Saat bibir orang baik melantunkan doa dan kebaikan. Saat bibir anak-anak merengek minta disusukan.
Tuan itu hanya bisa memandang tingkah laku mereka. Kemudian menyuapi dengan kata penenang tanpa pembangkangan dan kembang. Memandikan mereka dengan air mengalir, agar segala yang buruk segera berakhir. 

Kini bibir itu pun hanya bisa bernyanyi, menghibur Tuan Pemungut Bibir. Bersenandung riang dari pagi hingga petang. Dan tidur dengan wewangian kapur barus di dalam tas punggung Tuan Pemungut Bibir.

BIDADARI(A)



Bidadari(a), aku lebih suka menyebutnya seperti itu. Sekumpulan gadis ceria yang telanjang. Menari saat pagi juga hampir petang pada aliran air sungai yang mungkin mereka anggap sebagai taman surga. Bidadari(a) dari segala usia yang mempesona ikan-ikan juga kekunang disekitarnya. Namun tidak untuk para pria (menurut pengamatanku begitu).

Fajar mulai menyingsing, embun mengering, dan kicau burung mulai sering. Langkah kaki bergantian menuruni bebatuan besar, tumit yang mulus terbungkus jejak mimpi semalam. Gelak tawa riang bersahutan menceritakan kisah yang telah lama disimpan. Mereka berkumpul, setelah bergumul dengan waktu di bawah pohon tepian sungai, taman surga(nya). Pembalut tubuh yang ditanggalkan, dada-dada diperlihatkan, juga lekukan kemolekan yang tak malu dipertontonkan pada alam. Gerai rambut yang sering disibakkan, juga beberapa butiran peluh di kening saat mencuci ialah kebisaan yang tak bisa ditinggalkan. Merupakan tradisi, atau apalah, jelasnya mereka sudah terbiasa bercumbu dengan aliran sungai bening itu.

Bidadari(a) yang pengasih (mungkin seperti itu), ia sering menyusui sungai dengan kedua buah dadanya. Tak enggan ia memeluk punggung-punggung batu, menyisir aliran air, kemudian menggelinjang di dasar sungai. Matahari mereka gunakan sebagai handuk, mengeringkan setiap lekukan tubuh dari air yang bersimpuh. Saat semua sudah kering, dadanya kembali ia balut, kaki menapak rerumputan yang tak henti mengagumi, bidadari(a).

Saat mentari meninggi, tegak di atas kepala. Terkadang hanya ada beberapa bidadari(a) yang menyapa riuhnya sungai dan pengisinya. Sekedar menyegarkan pikiran dari penat yang menyeruak, juga peluh yang ingin segera dibasuh. Tepian sungai yang tenang, tempat segala resah dibuang dengan segala hal yang dapat dikenang diputar berulang. Itulah bidadari(a) periang.

Sabtu, 13 April 2013

Kelupaan dan Kelukaan

Menikmati setoples kelukaan dan kelupaan
Buatan tangan dan hasil racikanmu
Sungguh enak bila ditambah dengan secangkir ketenangan
Tanpa sesendok kerisauan yang kau suguhkan

kelupaan dan kelukaan yang renyah
dibumbui penyedap resah
terhidang dalam kesengajaan kita
di meja bernama perpisahan

Dalam waktu yang bersamaan
Kita belajar saling melupakan
Membahagiakan kenangan yang lalu lalang
Dari terang hingga petang

Melupakanmu itu mudah
Seperti saat kau palingkan muka mu dari hadapku
Begitulah kau mengajarkanku waktu lalu
Tak perlu kau pilu begitu


Cinta Diam-diam




Dalam diamnya diam
Ada cinta yang ia pendam
Mengapa tak kau ungkapkan saja
Cinta yang kau genggam dalam kesendirian

Apa lagi yang akan kau sembunyikan
Dari sorot mata mu yang tajam
Aku sudah bisa menerka
Cintamu keterlaluan kau pendam dalam diam

Bicarakan saja
apa yang sering kau tangisi kala malam menyapa
ialah kerinduan yang tak tersampaikan 
pada cinta kau memilih diam

Rindu yang Berceceran



Ada yang bisa aku bantu?
Merapikan rindumu misalnya
Yang berceceran di kolong tempat tidurmu
Pun di asbak meja tamu

Banyak rindu berceceran di kamar
Semalam kau dan aku mungkin lupa merapikan
Saat hatimu hatiku saling berbenturan
Menikmati buaian indah gemintang pun rembulan

Belum genap semalam kau tinggalkan
Rinduku mulai meradang sayang
Ku punguti lagi sisa rindu yang berceceran
                  Ku nikmati sebagi candu yang membuat mabuk kepayang

Senja Ku Mengenang




Pada senja yang menopang segala kerinduan
Aku haturkan salam penuh kenangan
Cinta yang berpisah pada jingga laramu
Merindu untuk pulang

Tetiba senja sembunyi di balik ketiak mendung
Tangisnya tak henti selayak rindu berkabung
Jingga pemerah pipi yang malang
Hadirmu kini hanya sebagai bayang

Lalu senja menghilang
Atau tak tau jalan pulang
Langit merona mengabu
Sendu tatapnya kian merayu

Tak ada jejak yang ia tinggalkan
Selain semburat yang melekat dalam ingatan
Akankah senja kembali
Menghitung mata yang menanti